BLOGGER TARAKAN KOMUNITAS
Poliagro Tarakan Kalimantan Timur ~ agrokaltim.blogspot.com Poliagro Tarakan Kalimantan Timur ~ agrokaltim.blogspot.com Poliagro Tarakan Kalimantan Timur ~ agrokaltim.blogspot.com Poliagro Tarakan Kalimantan Timur ~ agrokaltim.blogspot.com
Poliagro Tarakan Kalimantan Timur ~ agrokaltim.blogspot.com Poliagro Tarakan Kalimantan Timur ~ agrokaltim.blogspot.com Poliagro Tarakan Kalimantan Timur ~ agrokaltim.blogspot.com Poliagro Tarakan Kalimantan Timur ~ agrokaltim.blogspot.com

Friday, September 19, 2008

Pembangunan KPH Dipacu Menuju 2009

Pembangunan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) merupakan salah satu persyaratan yang diwajibkan dalam UU Nomor 41 Tahun 1999, tepatnya dalam Pasal 17. Jika merujuk pada tahunnya, maka kewajiban tersebut sudah berjalan selama 8 tahun. Dalam sejarahnya, KPH sudah diamanatkan jauh sebelumnya melalui peraturan terdahulu. Yang berbeda adalah pengertian terhadap “P” dimana pada periode sebelum tahun 1999, P memiliki pengertian Pemangkuan dan atau Pengusahaan sedangkan pasca 1999 P memiliki pengertian Pengelolaan. Dalam kurun waktu 8 tahun pasca UU No. 41 Tahun 1999, pergerakan maju perwujudan pembangunan KPH pada tingkat tapak belumlah terlalu menggembirakan, sementara ini adalah amanat UU.

Penetapan dan penegasan pewujudan KPH pada tingkat tapak, secara tegas dan berani dideklarasikan melalui PP Nomor 6 Tahun 2007. Secara tegas ditargetkan bahwa dalam jangka waktu 2 tahun setelah PP Nomor 6 Tahun 2007 ditetapkan KPH sudah harus terwujud. Berdasarkan penanggalannya, PP Nomor 6 Tahun 2007 diundangkan tanggal 8 Januari 2007, itu berarti bahwa 8 Januari 2009 KPH sudah harus operasional pada tingkat tapak. Bahkan cerita dibalik layar dalam proses penyusunan PP No. 6 Tahun 2007 seperti disampaikan Ir. Tri Joko dari Badan Planologi Departemen Kehutanan, pada suatu kesempatan sosialisasi di Banjarmasin terungkap bahwa awalnya target tersebut adalah satu tahun. Tetapi setelah melalui pertimbangan-pertimbangan teknis, maka disepakati menjadi 2 tahun.

Target ini sangat jelas. Dengan mudah akan menilai pencapaiannya. Dan mungkin inilah satu-satunya target nasional di bidang kehutanan yang dituangkan melalui Peraturan Pemerintah. Suatu komitmen yang berani. Apresiasi perlu diberikan untuk itu, terlebih pencapaiannya. Sangat pentingkah pembangunan KPH sehingga harus dituangkan dalam bentuk target melalui Peraturan Pemerintah?

KPH sebagai Identitas Pengelolaan

KPH merupakan identitas pengelolaan hutan yang secara mudah dapat dikenali. Jika berbicara pengelolaan hutan, maka seharusnya yang menjadi pembicaraan utama adalah dimana wilayahnya atau dimana tempatnya? Dan kalau berbicara dimana, maka akan menunjuk pada wilayah atau area. Dalam hal inilah KPH akan selalu disebut. Sebagai misal, kegiatan reboisasi tahun 2007, dimana tempatnya? Di KPH A. Atau kebakaran hutan yang terjadi dimana? Di KPH B. Dalam pengertian inilah, identitasnya menjadi jelas. Selain itu, KPH yang dilengkapi dengan institusi pengelola memberikan identitas penanggung jawab yang lebih jelas. Dengan demikian, keberadaannya dalam sistem kontrol pengelolaan hutan menjadi lebih mudah.

Dalam keberadaan selama ini, identitas pengelolaan hutan yang secara tegas yaitu pada kawasan hutan konservasi yang bernama taman nasional. Taman Nasional Tanjung Puting misalkan. Pembicaraan yang menyebutkan masuk wilayah atau berada pda wilayah Taman Nasional Tanjung Puting sebenarnya secara sadar sudah mengingatkan kita akan kejelasan tanggung jawab sehingga memudahkan koordinasi. Keberadaan pengelola Taman Nasional Tanjung Puting semakin memudahkan dalam tindakan pengelolaan.

Segala permasalahan yang terkait dengan Tanjung Puting akan lebih mudah dikontrol daripada pada kawasan-kawasan hutan yang berada pada status quo, tidak memiliki penanggung jawab lapangan secara langsung selain dibawah teritori kehutanan secara umum. Hal-hal seperti inilah yang sering muncul dalam alasan klasis permasalahan pengelolaan hutan yang berada pada remote area sehingga tidak atau susah terjangkau dalam pengawasannya. Keberadaan KPH tidak mengurangi permasalahan pada remote area tetapi dengan adanya pengelola KPH maka jalur kontrol dan koordinasi akan menjadi lebih mudah dan jelas. Garis koordinasi dan tanggung jawab dengan mudah dapat ditelusuri.

Perjalanan Panjang Pencarian Bentuk

Walaupun demikian, mewujudkan KPH pada tingkat tapak bukanlah pekerjaan yang mudah. Bongkar pasang peraturan yang menjadi dasarnya sudah berkali-kali dilakukan. Demikian juga dengan Tim Ahli yang melakukan kajian terhadap KPH, entah sudah berapa banyak. Pada tingkatan Peraturan Pemerintah, PP No. 6 Tahun 2007 merupakan pembaharuan dari PP No. 34 Tahun 2004 yang menjadi acuan pembangunan KPH. Perubahan secara signifikan terhadap keberadaan PP No. 6 Tahun 2007 yaitu egaliter pengelolaan hutan atau adanya persamaan pengelolaan antara hutan produksi, lindung, dan konservasi. Penyusunan rancang bangun KPH dari awal tidak dipisahkan tetapi ditinjau secara integral. Penamaan KPH-nya dilakukan kemudian setelah memperhatikan fungsi dominan dari suatu kawasan hutan yang kompak, efisien dan efektif untuk dikelola sebagai suatu unit KPH. Dalam pengertian ini, maka akan memungkian bahwa dalam suatu KPH Konservasi akan terdapat hutan produksi dengan luas yang kecil atau dalam suatu KPH Produksi akan terdapat hutan konservasi dan hutan lindung.

Salah satu yang terus menjadi diskusi panjang dan bahkan sering menjadi kekhawatiran beberapa pihak adalah bagaimana hubungan antara KPH dengan Dinas Kehutanan, baik itu pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota? Penjelasan yang ideal dari Badan Planologi Kehutanan tentang ini yaitu dengan melihat contoh yang ada pada instansi kesehatan. Dinas Kesehatan berada setara dengan Dinas Kehutanan dan rumah sakit berada setara dengan KPH. Semua menjalankan fungsi yang saling melengkapi. Dalam bahasa lain, Dinas Kehutanan melakukan peran manajemen service sedangkan KPH melakukan peran manajemen produksi. Tetapi lebih dari itu, penulis lebih suka menjawab pertanyaan tersebut dengan pertanyaan, siapakah yang bertanggung jawab secara nyata dan tegas pada kawasan-kawasan hutan yang berada pada area-area yang jauh, yang tidak ada penanggung jawabnya (baca : pemegang izin sah) disana? Seharusnya, dengan adanya pembagian semua kawasan hutan ke dalam KPH maka semua kawasan hutan akan menjadi lebih jelas penanggungjawabnya dan secara nyata dapat dipantau di lapangan.

Target Nasional KPH 2009 sudah dicanangkan. Tentu semua itu adalah semangat yang harus selalu diberi apresiasi. Apapun pertimbangan dibelakangnya dan dengan segala keterbatasan teori yang mendukungnya, bagi penulis, perwujudan KPH di tingkat tapak sudah seharusnya menjadi semangat bersama. Dan sebenarnya, Indonesia punya contoh yang pengelolaan hutan jati di Jawa, yang konon merupakan yang terbaik di Asia Tenggara. Seharusnya ini terus mendorong kita untuk mengambil sisi terbaik dari pengelolaan hutan jati di Jawa yang sudah dilaksanakan selama ini, setidaknya dalam permasalahan ’bangunan’ KPH-nya.

Sebagai akhir, masih banyak kawasan hutan kita yang sampai saat ini belum pernah kita kunjungi, belum pernah kita kenal selain hanya melalui foto-foto yang juga sudah mulai tidak indah lagi. KPH juga tidak serta merta memperbaikinya tetapi setidaknya, dengan adanya pengelola KPH pada tingkat tapak, maka pengenalan terhadap hutan yang menjadi kawasan kelolanya akan menjadi lebih baik.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home