BLOGGER TARAKAN KOMUNITAS
Poliagro Tarakan Kalimantan Timur ~ agrokaltim.blogspot.com Poliagro Tarakan Kalimantan Timur ~ agrokaltim.blogspot.com Poliagro Tarakan Kalimantan Timur ~ agrokaltim.blogspot.com Poliagro Tarakan Kalimantan Timur ~ agrokaltim.blogspot.com
Poliagro Tarakan Kalimantan Timur ~ agrokaltim.blogspot.com Poliagro Tarakan Kalimantan Timur ~ agrokaltim.blogspot.com Poliagro Tarakan Kalimantan Timur ~ agrokaltim.blogspot.com Poliagro Tarakan Kalimantan Timur ~ agrokaltim.blogspot.com

Thursday, August 30, 2007

Tarakan Calon Kuat Jadi Proyek Percontohan KPH


Berita TARAKAN
Kamis, 30 Agustus 2007Tarakan Calon Kuat Jadi Proyek Percontohan KPHTARAKAN-Tarakan menjadi calon kuat untuk ditetapkan menjadi proyek percontohan program Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Terpadu. Hal ini tergambar dari respon positif yang diberikan oleh pihak Departemen Kehutanan dan Perkebunan (Dephutbun) ketika pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Tarakan melakukan langkah koordinasi pada tanggal 13 Agustus lalu. Kepala Dishutbun Tarakan, Ir Budi Setiawan mengatakan inti dari langkah yang dilakukannya tersebut adalah menginformasikan sekaligus berusaha mencari informasi yang lengkap untuk menyusun program tersebut.
“Kegiatan ini akan dipadukan dengan kegiatan sejenis dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) di Samarinda. Termasuk didalamnya adalah pendanaan program KPH ini,” ujarnya.
Secara ringkas, program ini dapat menyebabkan luasan hutan lindung yang ada di Tarakan saat ini bertambah besar atapun sebaliknya dikarenakan adanya pemanfaatan daerah-daerah hutan lindung sesuai dengan kondisi lahan yang ada. Namun, secara gamblang program ini bertujuan untuk mengembangkan potensi hutan lindung sebagai kawasan wisata, bercocok tanam ataupun kawasan konservasi seutuhnya. Untuk diketahui, saat ini diperkirakan kawasan terbuka pada hutan lindung (2400 hektare) di Tarakan mencapai 50 persen.
“Salah satunya yang kita perhatikan adalah kawasan terbuka yang ada di hutan lindung yang kemungkinan akan kita manfaatkan untuk areal bercocok tanam atau lainnya,” ujar Budi kepada Radar Tarakan, Senin (27/08).
Disebutkannya, pentingnya program ini bagi Tarakan sendiri adalah untuk mengoptimalkan fungsi kawasan hutan dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan guna menjaga stabilitas kondisi lahan di Tarakan seluruhnya. Dirinya mengakui saat ini pihaknya tengah melakukan upaya sosialisasi kepada seluruh stakeholders mengenai program KPH.
“Proyek percontohan ini mungkin satu-satunya yang mewakili Kalimantan Timur (Kaltim),” jelasnya.
Ditambahkannya, kegiatan ini akan menjalani masa optimalisasi pada tahun 2009 mendatang. Dalam hal ini, program KPH dan kawasan-kawasan pemanfaatan hutan lindung yang ada akan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan (SK Menhutbun). (ndy_radartarakan)

Labels:

Model Pengelolaan Hutan Lindung Sebagai Upaya Pengelolaan Hutan Lestari


Latar Belakang:

Untuk mewujudkan berbagai upaya tersebut pemerintah sebagai regulator perlu mendorong usaha ekstra dengan memfasilitasi para pihak serta mengajak berbagai komponen daerah baik private sector, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat untuk secara kreatif mengembangkan bentuk-bentuk kolaboratif pengelolaan kawasan-kawasan hutan lindung yang telah ditetapkan dalam PERDA tata ruang. Ini juga sekaligus merupkan wujud implementasi perda tata ruang dalam mendorong pembangunan yang berkelanjutan serta lebih berpartisipatif. Perlu juga dipikirkan kemungkinan pengembangan terpadu antara unit pengelolaan pada kawasan-kawasan budidaya untuk ikut memelihara kawasan-kawasan hutan lindung baik yang berbatasan langsung atau tidak dalam kebijakan (CSR/ Corporate social responsibility) dari setiap unit usaha. Pengelolaan kawasan ini dapat juga dikemas menjadi kegiatan produktif yang dapat mendukung peningkatan PAD daerah dan memberikan alternative pekerjaan bagi masyarakat yang hidup disekitar kawasan hutan lindung dalam penerapan PERDA tata ruang.

Pengurangan angka kemiskinan dan daya saing masyarakat yang hidup disekitar dan didalam kawasan hutan baik melalui pendidikan, layanan kesehatan dan aktifitas ekonomi produktif non eksploitatif menjadi sebuah tantangan yang perlu di bangun secara bersama dan tidak dibebankan hanya kepada pemerintah semata atau sebaliknya pada masyarakat itu sendiri.
Adanya pemangku kawasan/ unit pengelola dan perencanaan yang baik dalam pengelolaan hutan lindung. Merupakan kontribusi pemerintah daerah terhadap komitmen bangsa Indonesia untuk mewujudkan target internasional yang telah dideklarasi oleh lembaga PBB. Secara langsung kawasan-kawasan hutan lindung tersebut telah berkontrobusi untuk menyerap Carbon (CO2), keterwakilan tipe-tipe hutan di dunia, gudang keanekaragaman hayati, fungsi penyangga dan penyedia air tawar, dan sebagai lahan produktif non eksploitasi yang dapat memberikan alternative income. Serta ikut mencegah angka bencana alam dan dampak negative terhadap alam yang ditimbulkan dari aktivitas manusia.


Proses dan Tahapan:
Untuk mencapai tujuan mengelola suatu kawasan hutan lindung diperlukan tahapan atau proses pengelolaan yang mengarah kepada pencapaian tujuannya. Ilustrasi berikut hanya sebuah model yang dapat dimodifikasi atau dikembangkan sesuai dengan kondisi dan karakter daerah masing-masing.

Tahap I. Identifikasi & deskripsi nilai hutan
Pada tahap ini secara jelas perlu diidentifikasi nilai-nilai hutan yang melekat pada kawasan hutan lindung. Saat ini telah dikembangkan beberap metode untuk identifikasi nilai-nilai hutan salah satunya adalah High Conservation Value Forest Indonesia toolkit. Dalam toolkit tersebut mencoba membantu para pihak sesuai dengan tujuan pengelolaan untuk dapat mendeskripsikan nilai-nilai hutan yang terkandung didalamnya. Secara singkat nilai-nilai yang dimaksud adalah sebagai berikut yaitu [1]. Hutan-hutan yang mengandung nilai keanekaragaman hayati penting. Apakah pada kawasan tersebut didiami species-species endemik atau local setempat. [2]. Hutan-hutan yang memiliki nilai bentang lahan tutupan hutannya masih utuh atau minimal kurang dari fragmentasi. [3]. Hutan yang memiliki keterwakilan tipe-tipe vegetasi setempat. [4]. Hutan yang memiliki nilai fungsi penyangga kehidupan, apakah sebagai buffer atau sumber air. [5]. Hutan yang memiliki nilai untuk mendukung kebutuhan masyarakat sekitar, apakah untuk sumber protein, obat, karbohidrat, kayu bakar, dsb. [6]. Nilai hutan yang bernilai social budaya atau juga sebagai identitas budaya. Identifikasi ini dapat dilakukan untuk memastikan kawasan atau area mana saja yang akan dipadukan dalam tata ruang sebagai kawasan hutan lindung.

Tahap II. Perumusan Tujuan Pengelolaan.
Adanya kejelasan terhadap area-area yang telah diidentifikasi dan eksplorasi kandungan nilai-nilai hutan tersebut, maka menjadi dasar dalam perumusan tujuan pengelolaan dan rencana aksi selanjutnya. Tujuan pengelolaan kawasan hutan lindung dapat diberi label sebagai hutan yang berfungsi sebagai paru-paru kota (jika berada di tengah kota), sebagai penyangga (jika berada di garis pantai dan sepadan sungai), sebagai tangkapan hujan (jika berada di daerah hulu), sebagai kantong keragaman hayati (jika ada species unik atau lokal) sebagai koridor (jika berfungsi untuk menghubung suatu kawasan suaka alam dengan hutan lindung lainnya) dsb.

Tahap III. Desain Ruang dan Model/ Sistem Pengelolaan
Batas administrasi atau batas wilayah hanya merupakan batas imaginer yang ada diatas peta. Untuk memudahkan dan memperjelas batas kawasan hutan lindung dapat juga dikombinasikan dengan bentuk lahan atau batas-batas alam. Model pengelolaan dapat diselaraskan dengan tujuan pengelolaan. Jika kawasan hutan lindung berada di kota, bisa juga difungsikan sebagai taman kota (ruang terbuka hijau). Pada daerah penyangga dipadukan dengan penataan landscape untuk ruang publik. Juga bisa dikembangkan jalur untuk pejalan kaki, jalur sepeda, kursi taman untuk istirahat dan sebagainya. Begitupula jika hutan lindung diperuntukan untuk perlindungan sumber air, maka kawasan hutan tersebut ditata batas untuk mengetahui cakupan wilayah tangkapan dan kelerengan yang mempengaruhi aliran air permukaan. Pengelolaan dapat dipadukan dengan pengelolaan Daerah Aliran Sungai secara terpadu. Model-model pengelolaan tidak bersifat kaku, tetapi merupakan pilihan sesuai dengan tujuan pengelolaan yang akan dicapai.

Tahap IV. Desain Action Plan
Penentuan rencana-rencana tindak berdasarkan pada rancangan tapak dan target-target pengelolaan. Turunan jenis-jenis kegiatan, seharusnya merefleksikan pencapian tujuan dan target pengelolaan. Arahan aktivitas yang jelas akan memastikan investasi yang dialokasikan untuk pengelolaan kawasan hutan lindung dapat terserap dan termanfaatkan secara optimal.

Tahap V. Membentuk pengelola/ kelembagaan
Agar dapat mengelola kawasan hutan lindung secara jelas dan pasti, pemerintah sebagai regulator dapat memfasilitasi untuk membentuk unit teknis pengelolaan. Penentuan bentuk unit pengelolaan sepenuhnya diberikan kepada kesepakatan para pihak di masing-masing daerah. Secara garis besar bentuk unit pengelolaan ini dapat dilembagakan secara formal atau non-formal tergantung bagaimana kesiapan baik peraturan pendukung, tenaga, sumber pendananaan dsb. Tentu proses pembentukan kelembagaan juga memakan waktu, baik untuk mengembangkan kapasitas personel maupun secara kelembagaan.

Tahap VI. Mekanisme Pendanaan
Mekanisme sumber penadanaan menjadi sangat penting untuk memastikan pengelolaan kawasan secara berkelanjutan. Melalui peraturan daerah seharusnya dapat dikembangkan berbagai ekonomi instrumen seperti environment tax atau iuran daerah. Dimana penduduk mendapat manfaat dari jasa-jasa lingkungan seperti udara bersih, air bersih, tempat rekreasi dsb. Selain itu juga dapat dipadukan dengan mekanisme pengelolaan dana perusahaan lewat kebijakan perusahaan terhadap tanggung jawab sosial. Selain itu juga dapat diperoleh dari lembaga-lembaga donor yang memiliki concern terhadap pengelolaan hutan. Termasuk bagaimana menjual Carbon, sebagai hasil dari kita tidak mengkonversi hutan-hutan yang dimiliki daerah.


Tahap VII. Sistem Monitoring dan Evaluasi
Secara keseluruhan hasil pengelolaan perlu dipertanggung jawabkan. Baik auditor independen terhadap pengelolaan dana yang digunakan dalam pelaksanaan program. Juga keberhasilan kegiatan pengelolaan atau capaian-capaian target-target program. Hal ini sangat diperlukan untuk mengukur apakah unit kelola sudah berjalan efektif atau masih perlu disempurnakan.

Beberapa Model Pengelolaan
Selama ini yang diketahui hanya pengelolaan Taman Nasional dengan sistem zonasi. Secara prinsip tahapan atau proses pengelolaan juga mengikuti pola yang serupa. Namun untuk pengelolaan kawasan hutan lindung perlu disesuaikan dengan spesifik tujuan kelola dan kondisi serta kemapuan daerahnya.

Beberapa program yang telah dilakukan WWF Indonesia, diantaranya dengan meningkatkan kemampuan kelola masyarakat disekitar kawasan lindung untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu. Baik itu madu hutan dari Teso Nilo atau Danau Sentarum. Hasil kerajinan bambu dari Nusa Tenggara. Hasil pahatan kayu dari Ujung Kulon (Banten) dan hasil penyulingan minyak kayu putih dari Merauke, Papua.

Konklusi
Pengelolaan kawasan hutan lindung merupakan suatu tantangan bagi pemerintah daerah untuk dapat memberikan kontribusi kepada bangsa Indonesia untuk mewujudkan kehidupan yang lebih berkualitas dan lingkungan yang nyaman serta menjawab komitmen Indonesia terhadap dunia internasional. Peluang untuk pengembangan model-model pengelolaan masih sangat terbuka dan sangat beragam tergantung pada kesepakatan para pihak diwilayah tersebut. Sekaligus mengeksplorasi potensi-potensi yang belum tergarap atau dikelola secara maksimal seperti kawasan hutan lindung. Mencegah kerusakan alam dan kerugian dari praktek-praktek illegal akibat tidak adanya pengawasan dan pengelolaan yang effektif. Sebaliknya dapat menjadi pilihan pekerjaan baik formal dan informal kepada masyarakat didalam dan disekitar kawasan hutan lidung. {maryanto_dkp}

Labels:

Thursday, August 2, 2007

Burhanuddin Anggota Alumni Poliagro di Dinsos


Burhanuddin [1] 1989

Pekerjaan : DinSos Prov Kaltim

Email:

Telp: 085250772700

Labels: